TAMAN RIA Remaja Senayan. Air membentang seluas mata memandang.
Perahu-perahu hilir mudik dengan berbagai bentuk. Kebanyakan berkepala
bebek. Penumpang-penumpangnya bermacam-macam. Ada keluarga. Terdiri
Bapak, Ibu dan anak-anaknya. Atau pasangan-pasangan yang sedang
berpacaran. Wajah-wajah mereka menunjukkan kegembiraan. Ada yang senyum,
tertawa cerah. Atau bercanda ria.
Memang demikianlah halnya kebanyakan pengunjung-pengunjung Taman Ria ini. Kebanyakan menampakkan wajah gembira. Ceria. Namun di antaranya, ada seorang yang tidak
menampakkan wajah gembira. Benny ! Dia duduk di atas rerumputan
pebukitan yang memanjang. Matanya memandang ke depan. Sebentar
meredup, sebentar membola. Seperti ada golakan di dalam hatinya. Seperti
gelombang yang menderu-deru. Tiap sebentar menghela napas
panjang! Langit cerah. Awan-awan putih bergumpal-gumpal di sela-sela
langit biru. Benny merebahkan tubuhnya di atas rerumputan.
Kedua
lengannya disilangkan di bawah kepala. Lama dia memandang langit. Tetapi
langit bagai tak tampak. Yang terlihat olehnya, bayangan kabut.
Bergumpal-gumpal. Di antara kabut itu, bagaikan menyembul seraut wajah.
Perempuan. Cantik. Dan tik. Dan Benny menarik napas panjang lagi. Seraut
wajah itu tersenyum. Manisnya. Lebih manis dari pada gula atau segala
yang paling manis di dunia ini. Benny memejamkan matanya.
O, kesalnya
dia. Tak ingin sebenarnya dia menyaksikan seraut wajah itu. Tetapi wajah
itu seperti mengejarnya. Wajah Lisa. Wajah seseorang yang
dicintainya. Benny membuka matanya lagi. Secara jujur, Benny, pemuda
yang berusia sekitar dua puluh empat tahun itu, harus mengakui, bahwa
dia sangat mencintai Lisa. Belum pernah sebelumnya, Benny mencintai
seseorang, seperti besarnya kecintaannya kepada Lisa, Tetapi sekarang! Cinta yang besar itu
telah berobah menjadi kebencian. Kebencian amat sangat. Benny merentak.
Setengah menyentak, dia bangun dari sikap berharingnya.
Berpaling
ke kiri dan meludah. Dan . . . tiba-tiba mata Benny bentrok dengan mata
seseorang. Seorang perempuan. Benny terperangah. Sejak kapan perempuan
itu duduk di situ. Benny tidak melihatnya pada beberapa menit yang lalu. Perempuan itu, berwajah tirus dengan sepasang mata bola yang
indah, dengan rambut dibiarkan tergerai pada bahunya, masih saja
memandang Benny. Umurnya sekitar tiga puluh tahun. Sendirian ! Benny
menelan ludah! Uf! Mata yang indah. Duduk dengan sikap agak sembarangan,
sehingga ujung roknya tersingkap. Dan menyembullah. Dapatkan cerita lengkapnya..