Enny Arrow, adalah nama yang begitu melekat dalam dunia penulisan Indonesia pada tahun 1977-1992, karya-karyanya adalah yang paling banyak dibaca generasi muda Indonesia, terlahir dengan nama Enny Sukaesih Probowidagdo, lahir di Desa Hambalang, Bogor tahun 1924. Memulai karirnya sebagai wartawan pada masa pendudukan Jepang, belajar Steno di Yamataka Agency, kemudian direkrut menjadi salah satu propagandis Heiho dan Keibodan. Pada masa Revolusi Kemerdekaan, Enny Arrow bekerja sebagai wartawan Republikein yang mengamati jalannya pertempuran di seputar wilayah Bekasi.
Pada tahun 1965 Enny Sukaesih menulis karangan dengan judul "Sendja Merah di Pelabuhan Djakarta" karangannya ini merupakan pertama kali ia mengenalkan nama samaran sebagai "Enny Arrow" kata Arrow ia dapatkan sesuai dengan nama toko penjahit di dekat Kalimalang yang bernama Tukang Djahit "Arrow", di toko tempat penjahit itulah Enny Sukaesih pernah bekerja sebagai penjahit pakaian.
Setelah Gestapu 1965, suasana politik tidak menentu, Enny Arrow kemudian berkelana ke Filipina pada bulan Desember 1965, dari Manila ia pergi ke Hong Kong dan kemudian ia mendarat di Seattle Amerika Serikat pada bulan April 1967.
Di Amerika Serikat Enny Arrow belajar penulisan kreatif bergaya Steinbeck, setelah menemukan irama Steinbeck, Enny Arrow mencoba menuliskan beberapa karyanya di koran-koran terkenal Amerika Serikat, salah satu karya Enny Arrow adalah novel dengan judul : "Mirror Mirror".
Pada tahun 1974 dia kembali ke Djakarta dan bekerja di salah satu perusahaan asing di Jakarta sebagai copy writer atas kontrak-kontrak bisnis, semasa kerjanya ini Enny Arrow rajin menuliskan karya sastra yang amat bermutu, karya sastranya yang disebut-sebut mengalahkan popularitas Ali Topan Anak Jalanan adalah "Kisah Tante Sonya". Pada tahun 1980 karya Enny Arrow mendapatkan sambutan yang luar biasa di banyak penerbit-penerbit rakyat di sekitaran Pasar Senen.
Enny Arrow bukan saja penulis yang berkibar karena karya-karyanya, ia juga merupakan penantang atas sastra-sastra yang berpihak pada kaum pemodal, sampai pada kematian Enny Arrow pada tahun 1995 tak satupun orang Indonesia tau siapa Enny Arrow, dan dia menolak bukunya dijual di toko-toko buku besar. [www.goodreads.com]