Bukan Pasar Malam adalah sebuah novel yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dan diterbitkan oleh Balai Pustaka, tahun 1951. Novel ini ditulis setelah lima tahun Indonesia merdeka. Tentu saja, kondisi atau situasi sosial dan ekonomi masyarakat waktu itu sedikit banyaknya akan mempengaruhi dan tergambar dalam karyanya itu. Informasi yang berkenaan dengan waktu novel itu ditulis menjadi penting, untuk dapat memberikan penafsiran yang sebaik mungkin berkenaan dengan judul di atas.
Ada dua hal penting yang dapat diambil dan digambarkan dalam Bukan Pasar Malam ini. Kedua hal itu sangat ditentukan oleh dua tokoh yang ada dalam cerita, yaitu tokoh Aku dan tokoh Bapak. Semula, terkesan agak sulit untuk menentukan siapa yang sebenarnya menjadi tokoh utama, karena dari beberapa bagian, tokoh Bapak mempunyai waktu penceritaan yang panjang. Bahkan, dapat dikatakan bahwa novel itu, sebenarnya, bercerita tentang tokoh Bapak. Pada pihak lain, tokoh Aku juga hadir sepanjang penceritaan. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa tokoh utama dalam novel ini adalah tokoh Aku dan tokoh Bapak, tetapi, tokoh Aku juga bertindak sebagai tokoh antagonis.
Tokoh Aku sebagai protagonis dan antagonis sangat mendukung penafsiran, bahwa Bukan Pasar Malam menggambarkan kesedihan dan penyesalan seorang anak yang telah jauh lari dari orang tuanya (tokoh Bapak). Jauh lari di sini mempunyai banyak makna, meliputi lari secara fisik dan lari secara moral. Secara fisik, tokoh Aku tinggal berjauhan dari orang tuanya. Tokoh Aku sudah lama tinggal di Jakarta, hampir 25 tahun dan selama itu tidak pernah pulang kampung. Sementara, ayahnya (tokoh Bapak) bersama dengan kakak dan adiknya tinggal di Blora, kampung halaman mereka. Secara moral, tokoh Aku berseberangan dengan ayahnya (tokoh Bapak). Mereka berbeda paham, terutama dalam hal agama dan ideologi. Tokoh Bapak (ayah) adalah seorang Islam dan anak seorang ulama, tetapi mengabdikan diri sebagai seorang pendidik (nasionalis). Sementara, tokoh Aku tidak mengaku sebagai seorang Islam dan cenderung kepada ‘pasukan merah’.
Perbedaan-perbedaan yang ada antara kedua ayah dan anak itu telah membuat keduanya ‘menderita’ secara batin. Si ayah (tokoh Bapak) sangat menginginkan anaknya kembali, baik secara fisik maupun secara moral. Keadaan itu dapat dilihat pada bagian awal cerita, yaitu dari isi surat tokoh Bapak yang diterima oleh tokoh Aku. Tokoh Bapak sangat mengharapkan anaknya ‘kembali’, seperti kutipan ini: “…Di dunia ini tak ada suatu kegirangan yang lebih besar daripada kegirangan seorang bapak yang mendapatkan anaknya kembali, anaknja yang tertua, pembawa kebesaran dan kemegahan bapak….”. Isi surat itu dan surat yang dikirimkan pamannya kemudian yang memberitahukan keadaan ayahnya yang sedang sakit parah, membuat tokoh Aku merasa sedih dan menyesal sekali.
Pada pihak lain, tokoh Bapak sebagai tokoh protagonis kedua yang diceritakan oleh tokoh Aku, menggambarkan ironi seorang pejuang, ironi seorang nasionalis. Ironi yang dimaksudkan di sini adalah suatu keadaan atau situasi yang dialami oleh seseorang yang bertentangan atau berlawanan dengan keadaan yang semestinya dialaminya, karena suratan takdir. Semestinya, seorang pejuang, seorang pendidik, seorang nasionalis, akan memperoleh perlakuan terhormat dan kedudukan yang lebih baik, baik secara materi maupun kepangkatan, dalam masyarakat dan pemerintahan.
Keadaan yang dialami oleh tokoh bapak di atas, memperkuat makna yang terkandung dalam judul novel Bukan Pasar Malam ini; bahwa manusia itu lahir sendiri, hidup sendiri, berjuang sendiri, senang sendiri, sakit sendiri, dan pada akhirnya mati sendiri. Itu semua karena dunia ini bukan pasar malam.
Ada dua hal penting yang dapat diambil dan digambarkan dalam Bukan Pasar Malam ini. Kedua hal itu sangat ditentukan oleh dua tokoh yang ada dalam cerita, yaitu tokoh Aku dan tokoh Bapak. Semula, terkesan agak sulit untuk menentukan siapa yang sebenarnya menjadi tokoh utama, karena dari beberapa bagian, tokoh Bapak mempunyai waktu penceritaan yang panjang. Bahkan, dapat dikatakan bahwa novel itu, sebenarnya, bercerita tentang tokoh Bapak. Pada pihak lain, tokoh Aku juga hadir sepanjang penceritaan. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa tokoh utama dalam novel ini adalah tokoh Aku dan tokoh Bapak, tetapi, tokoh Aku juga bertindak sebagai tokoh antagonis.
Tokoh Aku sebagai protagonis dan antagonis sangat mendukung penafsiran, bahwa Bukan Pasar Malam menggambarkan kesedihan dan penyesalan seorang anak yang telah jauh lari dari orang tuanya (tokoh Bapak). Jauh lari di sini mempunyai banyak makna, meliputi lari secara fisik dan lari secara moral. Secara fisik, tokoh Aku tinggal berjauhan dari orang tuanya. Tokoh Aku sudah lama tinggal di Jakarta, hampir 25 tahun dan selama itu tidak pernah pulang kampung. Sementara, ayahnya (tokoh Bapak) bersama dengan kakak dan adiknya tinggal di Blora, kampung halaman mereka. Secara moral, tokoh Aku berseberangan dengan ayahnya (tokoh Bapak). Mereka berbeda paham, terutama dalam hal agama dan ideologi. Tokoh Bapak (ayah) adalah seorang Islam dan anak seorang ulama, tetapi mengabdikan diri sebagai seorang pendidik (nasionalis). Sementara, tokoh Aku tidak mengaku sebagai seorang Islam dan cenderung kepada ‘pasukan merah’.
Perbedaan-perbedaan yang ada antara kedua ayah dan anak itu telah membuat keduanya ‘menderita’ secara batin. Si ayah (tokoh Bapak) sangat menginginkan anaknya kembali, baik secara fisik maupun secara moral. Keadaan itu dapat dilihat pada bagian awal cerita, yaitu dari isi surat tokoh Bapak yang diterima oleh tokoh Aku. Tokoh Bapak sangat mengharapkan anaknya ‘kembali’, seperti kutipan ini: “…Di dunia ini tak ada suatu kegirangan yang lebih besar daripada kegirangan seorang bapak yang mendapatkan anaknya kembali, anaknja yang tertua, pembawa kebesaran dan kemegahan bapak….”. Isi surat itu dan surat yang dikirimkan pamannya kemudian yang memberitahukan keadaan ayahnya yang sedang sakit parah, membuat tokoh Aku merasa sedih dan menyesal sekali.
Pada pihak lain, tokoh Bapak sebagai tokoh protagonis kedua yang diceritakan oleh tokoh Aku, menggambarkan ironi seorang pejuang, ironi seorang nasionalis. Ironi yang dimaksudkan di sini adalah suatu keadaan atau situasi yang dialami oleh seseorang yang bertentangan atau berlawanan dengan keadaan yang semestinya dialaminya, karena suratan takdir. Semestinya, seorang pejuang, seorang pendidik, seorang nasionalis, akan memperoleh perlakuan terhormat dan kedudukan yang lebih baik, baik secara materi maupun kepangkatan, dalam masyarakat dan pemerintahan.
Keadaan yang dialami oleh tokoh bapak di atas, memperkuat makna yang terkandung dalam judul novel Bukan Pasar Malam ini; bahwa manusia itu lahir sendiri, hidup sendiri, berjuang sendiri, senang sendiri, sakit sendiri, dan pada akhirnya mati sendiri. Itu semua karena dunia ini bukan pasar malam.